— 15 menit sebelum bendungan jebol, di pinggir danau yang terletak di dataran bawah air terjun –
Rufi Rusa melangkahkan keempat kakinya dengan santai menyusuri pinggiran danau yang berair jernih dan banyak ikannya itu. Pandangannya terarah pada seekor kupu-kupu bersayap biru dengan garis-garis kemilau keemasan yang sedang terbang rendah di atas air. Jelas bukan sekali dalam hidupnya ia menemui kupu-kupu di sekitar gua tempat ia tinggal beserta kelompok rusa yang lain itu, namun entah kenapa, ia tidak pernah jemu mengagumi keanggunannya.
“Sedang mengamati kupu-kupu lagi, Rufi?”
Rufi menoleh ke belakang. Tampak Kakek Tore Rusa berjalan menghampirinya. Kakek Tore adalah rusa tua yang mengasuhnya sejak kecil, sejak ia ditinggal pergi oleh kedua rusa tuanya. Baginya, kakek Tore adalah sosok ayah sekaligus ibu yang selalu menjaganya.
“Iya, kek”, jawab Rufi. Ia geser sedikit tubuhnya ke kanan, memberi ruang bagi Kakek Tore untuk berdiri di sampingnya.
Kakek Tore menghentikan langkahnya. Ia berdiri sekitar 50cm di sebelah kiri Rufi. Kepalanya ia tengadahkan, menatap arah kupu-kupu biru yang tadi diperhatikan si Rufi. Kupu-kupu tadi sekarang sedang bercengkrama di udara dengan seekor burung gereja.
“Tahukah kamu berapa lama kupu-kupu itu bisa hidup Rufi?”
Rufi sedikit kaget karena kakek Tore tiba-tiba mengajukan pertanyaan kepadanya.
“Tiga tahun?”, tebak Rufi. Asal.
Kakek Tore menggeleng.
“Kebanyakan kupu-kupu hanya bisa bertahan hidup selama 2 hingga 14 hari.”
Kali ini Rufi benar-benar kaget. “Sungguh?”, ujarnya.
“Ya”, jelas sang kakek, “walaupun tidak semua. Ada beberapa spesies yang bisa hidup selama beberapa minggu atau berbulan-bulan. Namun secara keseluruhan ya itu tadi, umur mereka pendek”.
Rufi terdiam. Ia tidak menyangka binatang seindah dan seanggun kupu-kupu biru tadi hanya bisa menikmati dunia dalam waktu yang tidak lama. Ia tidak bisa membayangkan, apa jadinya jika ia ditakdirkan memiliki siklus hidup yang pendek seperti mereka.
Seolah mengerti apa yang sedang dipikirkan Rufi, kakek Tore sengaja berdiam diri. Membiarkan Rufi larut dalam pikiran dan bayangannya.
Samar-samar terdengar suara lengkingan dari langit. Tak berapa lama kemudian, muncul Eli Elang, melesat dengan cepat dari arah air terjun, dan berputar-putar di atas danau sambil berteriak, “AWASSSS!!!! BENDUNGAN AMBRUKKK!!!! SEGERA MENYINGKIR DARI DEKAT AIR TERJUN!!!!”
Rufi dan kakek Tore tersentak. Reflek mereka menatap ke arah air terjun. Memang benar, terasa ada sedikit suara gemuruh air dari arah sungai di dataran atas. Kakek Tore segera memerintahkan Rufi untuk memberitahu dan membantu rusa-rusa lainnya yang berada di dekat air terjun untuk segera menyingkir. Perintah ini ditanggapi dengan sigap oleh Rufi.
Semenit kemudian limpahan air bendungan menerjang bebatuan di pinggir air terjun dan menghujani danau di bawahnya dengan deras.
“Siapa itu?”, tanya Rufi.
“Entahlah”, jawab Rena, rusa betina, cucu dari kakek Tore. Usianya sepantaran dengan Rufi.
“Kita menemukannya di pinggir danau, badannya basah kuyup, sepertinya ia terseret arus bendungan dan terhempas dari atas air terjun”, lanjut Rena.
“Wah, malang sekali nasib musang itu. Ia tidak luka parah kan?”
“Itu hebatnya. Tubuhnya sepertinya hanya mengalami lecet-lecet saja. Sekarang Tombi sedang merawat luka-lukanya dan mengusahakan agar ia cepat siuman”, Rena menjawab sembari mengarahkan hidung mungilnya ke arah Tombi, rusa gemuk yang handal masalah kedokteran. Kabarnya ia pernah mengikuti kursus kilat perawat di masa kuliah dulu.
“Baguslah kalau begitu. Kamu sendiri tidak apa-apa, Rena?”
“Aku baik-baik saja. Begitu mendengar Eli Elang berteriak tadi, aku langsung cepat-cepat menyingkir dari danau.”
Rufi menghela nafas lega. Namun tatapannya tetap tidak lepas dari musang yang baru saja diselamatkan oleh Rena dan kawan-kawannya. Entah kenapa, ia merasa penasaran.
bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar